Rabu, 20 Mei 2015

Rp 40.000
Rp 34.000


Para Mujahid Cinta

Sebuah Novel Tentang Romansa Cinta dan Perjuangan mempertahankan Kehormatan




Detail
Judul  : Para Mujahid Cinta
Penulis  : Najieb Kailani
Penerbit       : Ihwah Publishing
Isi : 219 Halaman 
ISBN : 978-602-9822113
Ukuran : 13 x 21 cm

Sinopsis





“Jika orang melupakan kita, itu artinya permasalahan besar yang kita perjuangkan telah mati”. Itulah kalimat yang keluar dari mulut suci Mansur Darga, salah satu Mujahid Cinta yang tewas di berondong peluru kaum imperialis saat menjejakkan kakinya di negeri Turkistan.

Mungkin saat ini banyak pembaca yang tak mengetahui bahwa dulu sempat ada sebuah negeri dengan nama Turkistan. Sebuah negeri tempat lahirnya para ilmuwan Islam yang telah memberikan sumbangsih begitu besar bagi perkembangan peradaban manusia. Di tanah Turkistan itulah lahir ulama’-ulama’ dan filosof Islam seperti Al-Biruni, Ibnu Sina, Al-Farabi dan Al-Bukhori.

Namun sayangnya, tanah harapan itu kini telah hilang ibarat di telan bumi. Peta duniapun sepertinya tak mau lagi menerima nama Turkistan seperti nama negeri-negeri lain yang pernah ada. Serangan bangsa China dan Rusia terhadap Turkistan menjadikannya hanya ada dalam sebuah dongeng-dongeng yang diceritakan dari mulut ke mulut.

Berangkat dari hal itulah, seorang sastrawan kesohor kelahiran Mesir mencoba menguak sejarah tenggelamnya negeri Turkistan itu melalui sebuah karya berjudul ‘Para Mujahid Cinta’. Buku berjudul asli Layaali Turkistan ini memaparkan dengan detail detik-detik hilangnya ‘Andalusia Kedua’ dalam dunia Islam itu dalam bentuk novel.

Ekspansi teritorial yang dilakukan dua negara komunis, China dan Uni Sovyet (Rusia sekarang), menjadikan wilayah Turkistan Barat dan Timur menjadi Negara pecahan kecil-kecil. Turkistan barat yang dijajah oleh Uni Sovyet kini berubah menjadi Republik Sovyet Uzbekistan, Republik Sovyet Turkmenistan, Republik Sovyet Kirghistan dan Republik Sovyet Tadzhikistan. Meskipun pada akhirnya Uni Sovyet runtuh pasca gerakan parestoika yang digawangi oleh Michael Ghorbachev, Turkistan tetap hilang dengan alasan politik yang di buat-buat. Sedangkan Turkistan Timur yang dijajah oleh Chinapun, kini menjadi Propinsi Sinkiang.

Buku setebal 129 halaman ini diawali dengan kisah pendudukan pasukan China yang mencengkeram Propinsi Kumul pada tahun 1930. Disebabkan karena merasa sudah menguasai daerah jajahannya, maka komandan China membuat peraturan yang sesuka hatinya. Tak perduli apakah peraturan itu bertentangan dengan keyakinan penduduk yang dijajahnya. Peraturan itu adalah keharusan bagi semua orang Turkistan untuk menikahkan anak perempuannya kepada pasukan China, meskipun berbeda keyakinan.

Berawal dari sanalah, pemberontakan rakyat Turkistan melawan China mulai bergelora di bawah pimpinan pemikir, negarawan serta ulama’ kharismatik Khaja Niyaz Haji. Padanya terdapat sikap keberanian dan kearifan serta sang motivator para mujahid muslim Turkistan. Dialah pada akhirnya menjadi Presiden pertama negeri Turkistan menggantikan raja Kumul yang tewas.

Melihat peperangan antara Turkistan dan China, Uni Sovyet mencoba untuk ikut bermain dalam konflik kedua Negara tersebut dengan topeng “membantu”. Pemimpin Uni Sovyet saat itu, Stalin, mencoba mengutus perwakilan ke Turkistan di bawah pimpinan Zajam Sin Dargam untuk bertemu muka dengan Khaja Niyaz Haji. Tentunya dengan kompensasi yang mempertaruhkan harkat dan martabat negeri Turkistan.Penolakan halus dilakukan Khaja Niyaz Haji atas bantuan yang ditawarkan utusan Rusia itu. Mendapat penolakan itu, pihak Sovyet pada akhirnya merapat kepada Pasukan China dengan alasan yang sama. Membantu!. Hingga akhirnya dua kekuatan komunis membabat habis wilayah-wilayah negeri Turkistan.

Buku yang diterjemahkan oleh Socheh Muhammad ini, selain mengisahkan tentang jiwa patriotisme, juga mengisahkan tentang jalinan cinta tokoh utama yang bernama Mustafa Murad Hadrat dengan Najmat Lail. Keduanya adalah pelayan istana Raja Kumul. Peperangan membuat cinta mereka terpisahkan untuk sementara waktu. Demi menyelamatkan keluarga kerajaan, Najmat Lail rela menikah dengan Pao Din, perwira pasukan China yang menyerang istana raja Kumul.

Namun seiring berjalannya waktu, saat Mustafa Murad Hadrat melakukan taktik perang gerilya bersama para mujahidin yang lain. Tuhan mempertemukan keduanya kembali di Urungi. Dengan menyamar menjadi pembantu perwira Pao Din bernama samaran Torson, Mustafa Murad Hadrat merasa bahwa cinta yang ada dalam hati Najmat Lail telah sirna. Ternyata pernyataanya salah besar. Dengan alasan cinta kepadanya, Najmat Lail membunuh suaminya sendiri. Dan menjalani hidup dalam pelarian bersama Mustafa Murad Hadrat. Keduanya menikah di sela-sela waktu senggang kala perang lagi mereda.

Akan tetapi, peperangan yang terus menerus tak kunjung henti membuat keduanya harus berpisah lagi. Demi bisa menjaga akidah Islamnya, para Mujahid Cinta negeri Turkistan ini mencoba untuk terus bertahan dengan jumlah yang sedikit melalui taktik prang gerilya. Sembunyi di pegunungan, jika terlihat musuh mulai lengah, mereka turun gunung dengan menyerang titik sentral pertahanan pasukan China dan Uni Sovyet. Meskipun pada akhirnya kekalahan selalu ada disebabkan kurang modernnya persenjataan perang pasukan Turkistan.
Akibat makin menipisnya jumlah pasukan Turkistan, maka mengungsilah Mustafa Murad Hadrat bersama para pejuang lainnya menuju Srinagar, Kashmir. Disanalah pertemuan kembali dengan Istri dan anaknya terjadi lagi. Hingga keduanya berkeinginan untuk hidup dipinggiran kota Mekkah. Nah di Mekkah-lah, saat bulan Dzulhijjah Najieb Kailani bertatap muka secara tidak sengaja dengan Mustafa Murad Hadrat yang menghabiskan sisa hidupnya dengan menjadi pedagang tasbih, kopiah dan barag-barang antic. Maka diceritakanlah negeri Turkistan, negeri Islam yang hilang ini pada Najieb Kailani dengan cerita yang sangat menyentuh nurani.

Di tengah Gonjang ganjing politik di dunia Arab yang bergejolak akhir-akhir ini, membuat semua mata tertuju pada dunia Islam. Tentu hadirnya buku ini saat dunia Islam berada dalam kekacauan seperti sekarang, layak untuk diapresiasi dari berbagai kalangan. Baik akademisi, mahasiswa, serta sejarawan, bukan untuk menghadirkan kembali masa lalu yang kelam itu, akan tetapi untuk belajar sejarah tentang pentingnya arti sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Dengan membaca buku ini, sejarah peradaban Islam kembali menjadi kajian yang menarik untuk terus dipelajari, diamati dan dicermati. Maka untuk selanjutnya, selamat membaca.

0 komentar:

Posting Komentar